POLEMIK PEMBAHASAN SEKS SECARA LITERER
DALAM KESUSASTRAAN MODERN INDONESIA

Etik A
5 min readNov 9, 2023

--

Sebagai masyarakat yang baru menyelami kesusastraan Indonesia pada lima tahun terakhir, saya dibesarkan dengan karya-karya sastra yang banyak dibicarakan pada tahun 2000-an ke atas. Tren yang muncul dan secara tak langsung menjadi konsumsi saya adalah karya-karya yang berasal dari rahim penerbit besar, seperti Kompas, KPG, dan Bentang Pustaka, juga yang kerap dijadikan bahan diskursus oleh komunitas sastra besar, seperti Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Komunitas Salihara. Selera saya seperti dibentuk dan diatur, sehingga karya-karya tersebut, yang seringkali mendapat apresiasi besar dan sorotan begitu terang, menjadi standar saya dalam berparadigma ketika memandang sastra Indonesia.

Urgensi dibeberkannya latar belakang di atas adalah untuk mengisyaratkan bahwa saya tidak berada pada zaman ketika kehadiran seks yang gamblang dalam sastra Indonesia diperdebatkan. Saya menerima tren penggunaan kata-kata kelamin sebagai suatu kewajaran yang hebat, ekspresif, kebebasan tanpa batas, keberanian mendobrak tabu, dan menambah kewibawaan bagi sastra itu sendiri. Kemudian, yang menjadi pertanyaan, benarkah asumsi saya, dan mungkin sebagian besar pembaca yang berlatar belakang sama, tentang kehadiran seks dalam suatu karya sastra demikian berdampak positif? Adakah sisi-sisi tersembunyi yang luput untuk dipertanyakan secara skeptis?

Untuk membahasnya, kita dapat sedikit mundur pada tahun jatuhnya Orde Baru dan awal mula Reformasi. Pada bulan Mei 1998, novel Saman karya Ayu Utami menampakkan diri pada dunia dengan membawa titel “Pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998”. Saman dielu-elukan oleh sastrawan-sastrawan dari berbagai kalangan. Sastrawan senior, seperti Sapardi Djoko Damono, Y. B. Mangunwijaya, Pramoedya Ananta Toer, bahkan Umar Kayam turut mengapresiasi novel ini. Kehadiran Saman dinilai mendobrak kultur sastra yang ada di Indonesia. Kejujurannya dalam menggunakan kata-kata bernada sensual dan merogoh selangkangan, yang dinarasikan dari sudut pandang perempuan, oleh Ignas Kleden disebut “bercahaya seperti kristal”. Gagasan yang dibawa oleh Saman begitu menggelegar, sampai kemunculannya dijadikan patokan dari lahirnya era sastra wangi.

Apa itu sastra wangi? Istilah sastra wangi pertama kali muncul tahun 2000-an untuk mengklasifikasikan karya sastra milik perempuan-perempuan urban, seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dee Lestari, dan deretan nama penulis perempuan lainnya yang bersuara atas nama nilai feminisme. Perempuan-perempuan muda ini menulis dengan mengangkat seksualitas sebagai tema utama. Mereka banyak menggunakan diksi-diksi vulgar (saat itu memang telah banyak digambarkan tentang seks secara implisit, tetapi belum umum untuk membicarakan isi selangkangan) dan kehadirannya menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak. Ibnu Wahyudi (2005) berpendapat bahwa sastra wangi adalah istilah sesaat bagi kepopuleran sastra generasi perempuan yang mengandalkan tubuh. Frasa “mengandalkan tubuh” tersebut dapat dengan jelas diartikan bahwa penulis-penulis perempuan ini tidak hanya mengandalkan karya, tetapi juga kecantikan dan keseksian penulis. Istilah sastra wangi digunakan oleh sastrawan-sastrawan yang bersebrangan paham untuk mengejek dan mendiskreditkan dominasi genre sastra seperti ini. Bagi sebagian dari mereka, penyebutan kata-kata vulgar tentang selangkangan adalah suatu tindakan tidak etis, memalukan, bahkan termasuk konten pornografi.

Perdebatan ini menarik bagi saya. Sebenarnya, bagaimana seharusnya seks ditempatkan dalam karya sastra? Mengapa hadirnya pembahasan tentang seks secara literer begitu menimbulkan perdebatan di kalangan kritikus sastra?

Seks Sebagai Risiko dalam Kesusastraan Indonesia

Goenawan Mohamad (1981) dalam esainya yang berjudul “Seks, Sastra, Kita” menjelaskan bagaimana posisi isu seks dalam sastra.

Ada semacam sikap berhati-hati, ada semacam pretensi yang dipersiapkan baik-baik, untuk tidak menyinggung seks dalam kehidupan percintaan, perkawinan dan kehidupan ibu-bapak: saya kira demikianlah memang kecenderungan umum sejumlah besar hasil sastra kita, meskipun tidak semuanya. Keadaan ini memang menarik, bila kita bandingkan – sebagaimana Aveling membandingkannya – dengan apa yang terdapat dalam kesusastraan modern lainnya, dan terutama dengan pelbagai hasil sastra lama dalam sejarah kita. (hlm. 1-2)

Sebagai awalan, Goenawan Mohamad memberikan gagasan bagaimana pandangan umum seks dalam hasil sastra kita. Pernyataan tersebut bukan tanpa sebab, ia menjelaskan kondisi sastra kita yang kini tidak lagi mengenal sastra anonim dan bertransisi menjadi zaman dengan para penyair yang malu-malu dan enggan untuk menyatakan namanya, seperti misalnya Ronggowarsito dalam Serat Witaradya. Sejak saat itu, para pengarang terlibat dengan persoalan bagaimana cara beradaptasi dengan baik. Dengan tidak dapatnya mereka bersembunyi atas nama anonim, maka mereka memilih satu “pose” yang dianggapnya baik dalam melakukan adaptasi tersebut. Ditambah dengan berubahnya medium pembaca (pada kesusastraan tradisional karya sastra hanya dapat dibaca dengan manuskrip yang terbatas jumlah dan aksesnya, sedangkan pada kesusastraan kontemporer karya sastra didistribusikan secara luas oleh percetakan-percetakan), pose yang dianggap aman oleh para pengarang adalah dengan bersembunyi dan tidak membicarakan hal tabu seperti seks. Dalam taraf tertentu, modern ini terciptalah kesusastraan yang self-conscious.

Goenawan Mohamad (1981) menyimpulkan,

Pada hemat saya, selama keintiman dengan khalayak belum pulih kembali dalam diri seorang pengarang, selama hubungan antara kesusastraan dengan masyarakatnya masih belum tenteram, selama kesusastraan masih belum bebas dari sikapnya yang self-conscious dan kikuk, selama itu pula banyak hal takut untuk dibicarakan atau sebaliknya terlalu keras diteriakkan – termasuk seks. (hlm. 4)

Teori yang disampaikan di atas saya rasa sejalan dengan bagaimana para pengarang bersikap dalam menghadapi isu-isu sensitif dalam kesusastraan modern. Dalam menghadapi gebrakan “pembahasan seks secara brutal” oleh Ayu Utami dan kawan-kawan, muncul berbagai sastrawan yang menolak, baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang.

Saut Situmorang bersama Wowok Hesti Prabowo mendirikan suatu kelompok bernama “boemipoetra” (dengan huruf kecil) untuk memerangi gerakan sastra Ayu Utami bersama rekan sekomunitasnya dalam Komunitas Utan Kayu (KUK) dan Komunitas Salihara. Kelompok ini membuat manifesto yang diberi judul ‘Manifesto boemipoetra’ yang ditandatangani seratusan sastrawan dan seniman dari berbagai kota, khususnya di Jawa (Nugroho, 2012).

Dalam deskripsi web daring boemipoetra, secara terang-terangan mereka menyatakan perlawanan terhadap Komunitas Utan Kayu dan komunitas turunannya.

Situs boemipoetra ini memang dibuat untuk membongkar kebusukan Politik Sastra, Politik Kebudayaan, yang dilakukan Goenawan Mohamad melalui kegiatan-kegiatan “kebudayaan”nya termasuk melalui lembaga-lembaga “budaya” yang dia dirikan seperti Komunitas Utan Kayu dan Salihara. Situs ini TIDAK NETRAL!
– Redaksi boemipoetra

Dalam kegiatannya, boemipoetra setidaknya telah menerbitkan tiga edisi jurnal yang editorialnya khusus menyerang Goenawan Mohamad, yaitu “GM Antek Amerika” yang ditulis oleh Negarawan Sastra pada edisi kedua (Agustus 2007), “GM Itu Sampah!” yang ditulis oleh Wowok Hesti Prabowo pada edisi November-Desember 2007, dan “Goendoel Monyet” yang ditulis oleh Babat Hutan Kayu pada edisi November-Desember 2008 (Sambodja, 2007: dalam Jurnal boemipoetra edisi Agustus 2007 sampai dengan 2008).
Istri Saut Situmorang, Katrin Bandel, juga vokal dalam menyuarakan ketidaksetujuannya pada Ayu Utami dan gebrakannya. Katrin Bandel, sebagai kritikus sastra begitu tajam dalam menanggapi isu yang sedang beredar. Ia menulis esai dalam salah satu bukunya, Sastra, Perempuan, Seks, yang berjudul “Vagina yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme dalam Novel Ayu Utami”. Dalam esai tersebut, Katrin berusaha meluruskan kesesatan yang diakibatkan oleh Ayu Utami, yaitu anggapan bahwa segala pembahasan seks yang vulgar dan tidak etis adalah wajah dari sastra feminis di Indonesia.

Berdasarkan pembahasan yang telah dibahas dalam esai, setidaknya tergambar bagaimana kompleksnya kehadiran satu topik, yaitu seks, dalam perkembangan sastra Indonesia. Bagi periode pasca-Reformasi ini, barangkali inilah polemik besar terakhir yang dihadapi oleh kesusastraan Indonesia. Setidaknya, dengan adanya kontroversi ini, kritikus sastra yang mulai jarang ditemukan begitu antusias untuk menanggapinya berramai-ramai. Semoga ini adalah pertanda baik bagi kesusastraan Indonesia.

--

--